ASEAN Road Trip : Ho Chi Minh

October 01, 2019

Ho Chi Minh City, Viet Nam. Aku tidak mempunyai gambaran pasti tentang kota atau negara ini sebelumnya. Bayangan pertama yang muncul di benakku tentang Viet Nam adalah negara komunis yang terkenal dengan nama Nguyen yang melekat di sebagian besar nama penduduknya. Mesin pencarian google pun aku rasa belum cukup membantuku untuk mendapatkan sedikit pencerahan ada apa di negara itu. Mungkin bisa dicoba deh kalian buka google maps dan liat nama-nama tempat di Viet Nam. Hurufnya berbeda dari alfabet biasa yang kita baca dan cara melafalkannya pun tentu berbeda. Negara yang misterius, pikirku saat itu.
TIBA DI HO CHI MINH
traffic chaos in saigon
Traffic Chaos in Ho Chi Minh
Bunyi klakson kendaraan bermotor terdengar nyaring yang berasal dari luar bus, memecah tidur nyenyakku kala itu. Sinar matahari sore menyibak di sela-sela tirai jendela bus. Aku melihat ke luar, pemandangan sekeliling sudah berubah menjadi gedung dan pertokoan yang menandakan bahwa kami sudah sampai di tengah kota Saigon, Viet Nam. Di kota ini, aku dan Long akan tinggal di salah satu rumah penduduk lokal bernama Dzung. Beliau yang akan mengantarkan kami mengenal seluk beluk Ho Chi Minh nantinya.

Bus Sapaco berhenti di Pham Ngu Lao Street, Saigon tepat pukul 4 sore waktu setempat. Satu hal yang sudah menjadi kebutuhan primer aku dan Long dalam perjalanan ini adalah koneksi internet. Seturunnya dari bus, kami mencari 7-Eleven terdekat untuk membeli SIM card lokal. Dari informasi yang saya baca, ada 2 operator telekomunikasi yang terkenal di Viet Nam yaitu Viettel dan Mobifone. Kami membeli SIM card Viettel yang dibanderol dengan harga 70.000 VND untuk paket data selama 1 minggu dengan kuota unlimited.

Beranjak dari 7-Eleven, kami memesan Grab Car menuju daerah di District 1 Saigon. Setibanya disana, seorang lelaki paruh baya terlihat sudah stand by di depan rumahnya menunggu kedatangan kami. Dialah Dzung, host yang akan menampung kami selama 3 hari di Saigon. Karena hari sudah sore, aku dan Long tidak ada rencana khusus untuk mengunjungi tempat wisata disana. Lalu tiba-tiba, Dzung menawarkan kepada kami untuk ikut dengannya mengajar di sebuah lembaga kursus bahasa isyarat.
sign language course saigon
Sign Language Course
Sontak jiwa sosial kami terketuk penasaran untuk melihat bagaimana kelas bahasa isyarat tersebut. Kelas berlangsung dari pukul 18.30 - 20.00. Selama 1,5 jam aku dan Long hanya termenung melihat bagaimana mereka berinteraksi. Selain perlu menerjemahkan suatu kata dalam bahasa isyarat, sebelumnya kami harus menerjemahkan terlebih dahulu kata Bahasa Viet Nam ke Bahasa Inggris. Bagi Long mungkin tidak masalah, tapi bagiku hal tersebut sangat menyulitkan karena harus membuka google translate.
A Group Photo with the Student
Tapi terlepas dari itu semua, aku sangat senang dan bahagia bisa ikut kelas ini. Sebagai informasi, orang yang mengikuti kelas bahasa isyarat ini adalah orang-orang normal yang tidak mempunyai riwayat disabilitas. Tapi, menurut Dzung, mereka bergabung di kelas ini untuk belajar bahasa isyarat agar suatu saat nanti mereka dapat berkomunikasi dengan penyandang disabilitas khususnya teman tuli. How kind they are :")
saigon street food
Saigon Street Food
Setelah kelas selesai, kami bertiga memutuskan untuk langsung kembali ke rumah. Namun sebelum itu, Dzung mentraktir kami makanan khas Viet Nam yang aku tidak tahu namanya apa. Bentuknya seperti kue leker kalau di Indonesia. Usut punya usut, penjualnya adalah teman tuli. Alhasil, kami pun langsung mempraktekan pelajaran yang telah kami dapat di kelas tadi. What a coincident.

EXPLORE HO CHI MINH (DAY 2)
Hari ke 2, aku dan Long merencanakan untuk melihat dan mengunjungi beberapa tempat di Saigon. Tak disangka, Dzung juga akan ikut dengan kami. Syukurlah, setidaknya kami jadi memiliki seseorang yang akan memandu kemana akan melangkah. Untuk merasakan bagaimana hidup sebagai orang lokal, di hari kedua ini, kami menggunakan transportasi umum yaitu bus kota sebagai sarana untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tarif bus tersebut cukup murah kok, 6000 Dong saja untuk sekali jalan atau sekitar Rp 3500.
saigon bus transportation
Saigon Bus
Saigon Post Office menjadi tempat pertama yang kami kunjungi. Sekilas dari luar, bangunan ini memiliki arsitektur khas ala Eropa yang merupakan manifestasi peninggalan masa kolonialisme Perancis di Viet Nam pada abad 19 silam. Di dalamnya, aku seperti bernostalgia melihat amplop dan perangko yang tertata rapi dipajang di lemari dan meja. Tak hanya itu saja, Saigon Post Office juga menjadi tempat penyimpanan koleksi uang-uang kuno yang digunakan dahulu kala.
saigon post office interior
Saigon Post Office Interior
Sepengetahuanku, kantor pos ini merupakan yang tertua di Ho Chi Minh atau malah mungkin di Viet Nam. Sampai sekarang, gedung ini masih berfungsi sebagai kantor pos lho. Warga lokal dan pengunjung terlihat masih melakukan aktivitas menulis surat untuk dikirimkan kepada seseorang yang dituju, tidak tergerus oleh perkembangan zaman yang serba praktis menggunakan ponsel.
letter writing in saigon post office
Conventional Letters Writing in Saigon Post Office
Tak jauh dari Saigon Post Office, tampak sebuah bangunan gereja tua yang cantik menjulang tinggi dengan salib sebagai puncak tertingginya. Gereja tersebut bernama Basilika Notre-Dame Saigon. Meskipun masyarakat kota Saigon mayoritas adalah atheis, tapi gereja ini tetap terawat dengan baik. Saat kami berkunjung kesana, gereja tersebut sedang direnovasi sehingga kami tidak bisa melihat bangunannya secara utuh. Tapi meskipun begitu, gereja ini tetap menarik wisatawan untuk melihatnya dari luar.
notre dame cathedral saigon
Saigon Cathedral
Dari kedua landmark bersejarah tersebut, Dzung menuntun kami untuk sejenak mengistirahatkan kaki di area Saigon Riverside setelah berjalan kaki belasan kilometer hari itu. Angin berhembus sepoi-sepoi membuat hawa panas Saigon berubah sementara menjadi sejuk. Di pinggir sungai tersebut, kami saling bercerita apapun mulai dari hal politik, ekonomi, sejarah, dan masih banyak lagi. Oiya, saat itu juga Dzung berjanji akan membawa kami untuk naik kapal menyusuri Saigon River sore harinya.
saigon riverside
Chill at Saigon Riverside
Waktu menunjukkan pukul 12 siang, aku harus segera mencari masjid terdekat untuk menjamak Sholat Dzuhur dan Ashar. Tak jauh dari Saigon Riverside, terdapat Masjid Musulmane. Lagi, meskipun tidak banyak pemeluk Islam di Ho Chi Minh, tapi bangunan masjid ini tampak gagah berdiri di pinggir jalan District 1 Saigon. Konon, masjid ini dibangun oleh sekelompok masyarakat India yang mendiami District 1 80 tahun silam. Tenang rasanya bisa beribadah di sebuah negara komunis yang menjunjung nilai toleransi terhadap pemeluk agama lain. Selesai sholat, aku segera menghampiri Long dan Dzung yang terlihat menyusulku dan menunggu di serambi masjid.
musulman mosque saigon
Musulman Mosque Saigon
Selain masyarakat asli Viet Nam, ras China memiliki porsi yang cukup besar dalam struktur demografi masyarakat Saigon. Oleh karena itu, Dzung akan mengarahkan kami untuk melihat kearifan lokal masyarakat ras Tionghoa di Saigon dengan berkunjung ke sebuah perkampungan Chinese dan pasar tradisional China. Aku tidak tahu pasti dimana letak perkampungan ini karena kami hanya menguntit Dzung. Beginilah penampakannya. Rumah-rumah susun kuno yang diselimuti aroma dupa menyala yang menyeruak dari setiap pintu yang terbuka.
perkampung cina saigon
Perkampungan Cina di Saigon
Lepas dari perkampungan China tersebut, kami bertolak ke Bình Tây Market untuk melihat aktivitas perniagaan di pasar tersebut. Benar juga, pedagang bermata sipit khas Chinese mendominasi. Ketika kami melangkah di lorong pasar, mereka seolah memanggil kami dengan bahasa yang tak aku pahami. Kata Dzung sih, intinya mereka menyuruh kita untuk sekedar mampir dulu ke toko mereka melihat-lihat barang yang dijajakan disana. Komplit sih, ada yang jual pakaian, alat rumah tangga, sembako, dan masih banyak lagi.
bình tây market saigon
Bình Tây Market Saigon
Sesuai janji Dzung pagi tadi, sebagai penutup perjalanan kami sore itu, kita akan menyusuri Saigon River dengan kapal kecil yang menyerupai kapal pesiar. Berbekal tiket seharga 15.000 VND, kami mendapat akses untuk naik kapal tersebut. Kapal berjalan perlahan seolah memanjakan wisatawan untuk melihat landskap kota dari tengah sungai. Menjadi sebuah kebetulan yang tak disangka, kami naik kapal tersebut ketika matahari berangsur turun tanda malam akan tiba. Suasana pun semakin syahdu, aku tak bisa berhenti mengambil gambar pemandangan kota Saigon dari dek kapal.
saigon river jetty
Saigon River Jetty
Kurang lebih kapal berjalan selama 45 menit hingga tujuan akhirnya yang aku tak tahu itu dimana. Dari tempat kapal bersandar, kami menutup serangkaian perjalanan hari ke 2 dengan naik bus menuju rumah Dzung. What a day! Melelahkan tapi sungguh menjadi pengalaman yang tak terkira bisa berjalan belasan kilometer, melompat dari satu bus ke bus lain, dan keluar masuk gang-gang di Saigon.
inside the boat
Inside the Boat
saigon scenery from the boat
Saigon Skyscraper View from the River
EXPLORE HO CHI MINH (DAY 3)
Hari ini menjadi hari ketiga yang juga menandakan hari terakhirku di Viet Nam yang menjadi akhir dari serangkaian perjalananku mengelilingi ASEAN. Tak ingin waktu berlalu begitu saja sebelum pulang ke Indonesia pukul 18.20 dari Tan Son Nhat Airport, aku ditemani Long akan berkunjung ke salah satu Museum di Saigon. Tak lengkap rasanya jika datang ke suatu tempat namun tidak berkunjung ke museumnya.
reunification palace saigon
Reunification Palace Saigon
Memulai perjalanan dari rumah Dzung, kami naik bus menuju area Saigon Post Office. Dari situ, kita berjalan kaki sebentar untuk melihat sebuah gedung yang bernama Reunification Palace. Istana ini merupakan bangunan bersejarah dimana menjadi simbol bersatunya Vietnam Utara dan Selatan setelah mengalami perang saudara yang cukup lama. Sekarang, gedung ini berfungsi sebagai suatu museum, dimana pengunjung dapat melihat-lihat interior dan furniture yang digunakan pada masa itu dengan membayar tiket seharga 30.000 VND. Tapi, saat kami kesana pagar istana terlihat dikunci sehingga tidak ada wisatawan yang masuk kesana.
war remnants museum saigon
War Remnants Museum Saigon
bagian dalam war remnants museum
Peninggalan Senjata Masa Perang di Saigo
Perjalanan kami berlanjut ke War Remnants Museum. Museum tersebut bercerita tentang masa perang yang berkecamuk di Viet Nam dan juga barang-barang peninggalannya. Cukup kompleks sebenarnya untuk memahami setiap detail cerita yang tersaji disana. Hingga tulisan ini dibuat, aku pun tak dapat mengingat pasti alur cerita di museum itu, namun yang pasti ada 2 peristiwa besar yang menjadi tonggak sejarah Viet Nam yaitu masa penjajahan Perancis sebelum Viet Nam memerdekakan diri pada 2 September 1945 dan peristiwa Perang Saudara antara Viet Nam Selatan dan Viet Nam Utara.
viet nam independence declaration text
Viet Nam Independence Declaration Text
diorama war remnants museum
Diorama outside in the Museum
Kunjungan ke War Remnants Museum menjadi akhir dari perjalanan aku dan Long hari itu sebelum kembali ke rumah Dzung untuk packing. Cerita ASEAN Road Trip ini akan aku tutup pada bagian epilog (Baca : ASEAN Road Trip : An Epilogue)

You Might Also Like

0 comments