Overland Trans Flores (Day 5) : Ruteng - Wae Rebo

February 28, 2019


Sebelum memulai perjalanan panjang menyusuri Flores, aku sempatkan sejenak untuk berselancar di ranah maya, mencari tahu apa yang akan disuguhkan oleh Flores jika nantinya aku turun ke jalanan pulau tersebut. Membaca cerita perjalanan dari beberapa orang yang sudah pernah kesana, mataku terbelalak melihat satu desa yang masyhur sebagai desa di atas awan. Wae Rebo namanya.

Sore itu, aku datang ke Ruteng dan tak tahu menahu siapa orang yang akan aku temui disana. Aku hanya dapat sedikit informasi dari Herlambang bahwa nantinya ketika sampai di Ruteng, aku harus menemui Fajar dan Reza, teman seangkatannya. Berbekal nomor handphone Reza yang diberi oleh Herlambang, aku menghubunginya. Bak gayung bersambut, Reza dengan senang hati menerimaku untuk singgah 1 malam di rumah kontrakannya. Alhamdulillah :D

Di sana, aku banyak bertanya kepada Fajar dan Reza, bagaimana akses untuk menuju ke Wae Rebo, mengingat mereka sudah pernah pergi kesana sebelumnya. Mereka memberiku banyak informasi tentang Wae Rebo termasuk instruksi untuk mengunduh google maps offline sebagai penunjuk arah karena disana google maps tidak bisa dibuka musabab internet yang tidak terkoneksi sama sekali, termasuk Telkomsel sekalipun.

Setelah diskusi pada malam sebelumnya, aku memutuskan untuk naik motor Reza menuju Wae Rebo. Mungkin, terasa sedikit nekat bagi orang yang baru pertama kali datang ke Flores dan langsung memutuskan untuk mengendarai motor seorang diri ratusan kilometer hanya untuk berkunjung ke sebuah desa. Tapi apa boleh buat, cara itulah yang paling efisien. Ada cara lain untuk pergi ke Wae Rebo, yaitu naik truk sayur atau orang sana menyebutnya Otokol. Tapi, setelah mempertimbangkan berbagai faktor, menurutku lebih nyaman untuk naik motor saja karena waktunya yang lebih singkat dan tidak capek. Baiklah, petualangan dimulai.

SAWAH JARING LABA-LABA
sawah lodok cancar
Sawah Lodok Cancar
Sebelum gaspol motor ke Wae Rebo, aku sempatkan diri mengunjungi destinasi lain yang ada di Ruteng yaitu sawah yang berbentuk jaring laba-laba. Tempat apakah itu? 

Sawah Lodok terletak di Desa Cancar, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Sawah ini terkenal karena keunikan tampilannya yang menyerupai jaring laba-laba. Usut punya usut, bentuk jaring laba-laba tersebut adalah karena adat istiadat masyarakat Flores yang membagi sawah bermula dari titik tengah sawah yang disebut dengan lodok. Dari titik tengah kemudian ditarik garis lurus menuju bidang terluar sehingga terlihat pola kecil di bagian dalam sawah dan semakin membesar mendekati bagian luar. Semakin jauh dari titik tengah, maka semakin luas pula tanah tersebut.

Lokasinya yang tak jauh dari pusat kota membuat Sawah Lodok Cancar ini mudah dijangkau oleh para wisatawan yang berkunjung ke Ruteng. Gunakanlah google maps untuk menuju kesana, namun jika masih ragu, kalian bisa bertanya ke warga sekitar, mereka dengan senang hati akan menunjukkan jalan menuju kesana, aku pun juga begitu hehe.
guide sawah lodok cancar
Guide Sawah Cancar
Sesampainya disana, siapkan uang retribusi Rp 10.000 saja. Untuk bisa melihat sawah ini dari ketinggian, kita harus trekking ke atas dipandu oleh seorang anak kecil. Ambil nafas dalam-dalam dan berjalanlah seperti biasa, jangan tergesa-gesa. Setelah 10 menit trekking, dan... voila! Sawah Lodok berbentuk jaring laba-laba :D Alangkah lebih kelihatan lagi seharusnya difoto menggunakan drone, tapi apa daya, aku hanya punya kamera biasa dengan sudut seperti ini hehehe.
sawah jaring laba laba
Sawah Lodok Cancar (2)
DESA WAE REBO
Setelah aku rasa cukup mengambil foto sawah lodok, aku bergegas turun untuk segera memacu motor ke Wae Rebo. Aku mengecek maps offline yang telah aku unduh, kira-kira 70 km jarak tersisa untuk sampai ke Wae Rebo dengan estimasi waktu 3 jam. Lama sekali pikirku. 
travelling ke wae rebo
Perjalanan ke Wae Rebo
Satu hal yang aku suka dari Flores adalah kontur jalan utama Trans Flores yang sangat mulus seperti baru diaspal, nyaris tanpa celah. 1 jam awal masih enak lah perjalanannya. Eh tapi, baru aja dipuji, sontak seketika kontur jalanan berubah menjadi berlubang dan banyak bebatuan. Aku pun menurunkan kecepatan motor mengingat jika aku tetap memacu dengan kecepatan tinggi, aku khawatir di tengah jalan ban bisa bocor dan akan kesulitan untuk mencari tukang tambal ban di tengah hutan Flores :"

Aku tidak tahu pasti seberapa jauh jalan rusak ini aku tempuh, tapi kalau tidak salah aku berkendara di jalanan rusak selama 1 jam. Waktu 1 jam itu juga aku merasakan getaran motor yang sangat karena melewati bebatuan. Tapi, aku tidak boleh mengeluh. Bukankah aku sendiri yang memutuskan untuk naik motor? Aku harus tetap menanamkan mindset positif dengan menikmati pemandangan sekeliling selama perjalanan menembus hutan Flores.
Sawah dalam perjalanan ke Wae Rebo
Pukul 2 siang tepat akhirnya aku sampai di Desa Denge, desa terakhir sebelum memulai trekking ke Wae Rebo. Hanya ada 1 rumah yang menjadi rujukan para wisatawan yang akan berkunjung ke Wae Rebo yaitu rumah Bapak Blasius Monta. Ketika sampai disana, aku disuguhkan segelas teh oleh istri bapak Blasius sekedar untuk menghangkatkan badan setelah perjalanan jauh. Eh, tak lama setelah aku datang, Dobi (teman yang berpisah di Ende) datang di Desa Denge. Sebuah kebetulan yang tak disengaja :D
homestay blasius monta
Homestay Blasius Monta
Saat itu, istri Bapak Blasius mengamanatkan agar kita trekking naik dipandu oleh seorang warga lokal. Kebetulan juga saat itu ada 3 orang asing yang datang bebarengan dengan aku dan Dobi yaitu Tim, Rebecca, dan Shakira. Kami patungan masing-masing Rp 40.000 untuk membayar seorang guide anak kecil bernama Alo. Dia yang akan menunjukkan jalan naik menuju ke Desa Wae Rebo.
jalan aspal wae rebo
Jalan aspal Wae Rebo
Trekking menuju Desa Wae Rebo tidak terlalu berat menurutku. Awal perjalanan kita akan melewati jalan aspal yang sedikit menanjak hingga sampai di Pos 1. Selanjutnya, trek berubah menjadi tanah padat yang artinya juga kita akan mulai memasuki hutan-hutan seperti gunung pada umumnya. Melewati pos 2 dengan pemandangan sedikit terbuka, kami berlima memutuskan untuk berhenti sebentar dan istirahat. 
jembatan ke wae rebo
Pos 1 Wae Rebo
Kami melanjutkan perjalanan sesegera mungkin mengingat saat di Pos 2 waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Kami harus sampai di Desa Wae Rebo sebelum matahari terbenam. Singkat cerita, kami berhasil sampai di sebuah pos tepat sebelum masuk ke wilayah Wae Rebo. Di pos ini, kita harus memukul kentongan sebagai tanda bagi warga Wae Rebo bahwa ada tamu yang datang ke wilayah mereka.
pos 2 wae rebo
Pos 2 Wae Rebo
Kami turun menuju rerumputan di depan rumah Mbaru Niang yang merupakan rumah tradisional Flores berbentuk kerucut dengan atap yang hampir menyentuh tanah. Atap yang digunakan pada rumah adat Mbaru Niang menggunakan daun lontar yang disusun sedemikian rupa sehingga mampu melindungi orang yang tinggal disitu dari air hujan dan panas matahari.
rumah mbaru niang
Rumah Mbaru Niang
Oiya, fyi, saat pertama kali datang ke sana, kita akan dibawa masuk ke salah satu di antara 8 Mbaru Niang yang merupakan rumah tetua adat Wae Rebo. Di rumah itu, para wisatawan mendapatkan briefing singkat mengenai Do's and Dont's selama berkunjung di Wae Rebo. Jangan lupa siapkan uang sebesar Rp 325.000 sebagai biaya menginap selama 1 malam di rumah Mbaru Niang. Menurut kalian dengan harga segitu worth it gak sih?

Aku coba mengulas sedikit ya. Uang sebesar Rp 325.000, kita akan mendapatkan fasilitas berupa kasur, bantal, dan selimut untuk tidur + welcome snack dan makanan berat sebanyak 2x yaitu di 1 di malam hari dan 1 saat sarapan. Menu yang disajikan cukup komplit sih, ada nasi, sayuran, dan lauk. Tak hanya itu, toilet dan kamar mandi disana sudah cukup modern dan bisa digunakan oleh wisatawan. Nyaman deh pokoknya. Anggap aja uang segitu adalah biaya yang dikeluarkan untuk menginap di hotel mewah ala Wae Rebo :p
sarapan di mbaru niang
Sarapan di Mbaru Niang
Setelah trekking seharian yang melelahkan untuk sampai di Wae Rebo, aku tertidur pulas sekitar pukul 8 malam hingga terbangun pukul 5 pagi. Udara dingin menembus selimut yang aku balutkan ke tubuh. Saat itu juga, timbul rasa penasaran dalam benakku tentang bagaimana suasana pagi di luar rumah Mbaru Niang ini. Seusai sholat Subuh, aku keluar dan semakin merasakan dingin yang ambooyy seperti di puncak gunung saja hahaha. Eh tapi, tak salah sih karena memang Desa Wae Rebo terletak di ketinggian sehingga orang mengenalnya dengan desa di atas awan.
epic scene wae rebo
Epic scene Wae Rebo
Aku membangunkan Dobi untuk membantuku mengambil beberapa spot foto yang sekiranya menarik untuk dibadikan. Beginilah hasilnya! :D
wae rebo village
Wae Rebo!
Tak lupa, aku sempatkan berinteraksi dengan beberapa warga di Wae Rebo dan anak-anak yang berlarian kesana kemari. Raut kegembiraan terpancar dari wajah lucu mereka yang kental akan khas Flores. Mereka tak malu memintaku untuk berswafoto dengan kamera yang aku bawa. Aku pun juga tak berkeberatan diajak mereka berswafoto hehe.
selfie in wae rebo
Selfie in Wae Rebo
Keasyikan foto dan bermain dengan anak-anak, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Kami dipanggil masuk ke rumah Mbaru Niang oleh orang lokal Wae Rebo sebagai tanda bahwa sarapan sudah siap. Selepas menyantap makanan yang terasa sangat lezat di lidah, kami berkemas untuk segera turun kembali ke Desa Denge. Saat itu, aku sudah memesan travel yang akan berangkat pukul 4 sore menuju Labuan Bajo , destinasi terakhir dari rangkaian perjalanan Trans Flores yang aku rencanakan selama 10 hari.
From left to right : Dobi, Tim, Faliq, Rebecca, Shakira
Tapi.. manusia merencanakan dan Tuhan lah yang menentukan segalanya. Aku merencanakan untuk live on boat ke Pulau Komodo, Pulau Padar dan sekitarnya. Namun, saat berada di travel dari Ruteng ke Labuan Bajo, aku mendapat kabar dari rumah bahwa ada salah satu anggota keluargaku yang masuk rumah sakit.

Kabar itu seperti petir menyambar di siang bolong. Aku membayangkan esok hari berada di sebuah kapal di tengah laut, melihat jernihnya air di Labuan Bajo, dan melihat satwa komodo secara langsung. Tapi, kenyataan berkata lain. Alhamdulillah aku belum sempat booking trip untuk sailing di Labuan Bajo dan segera aku pesan tiket pulang ke Jakarta malam itu juga. 

Lantas, apa yang aku lakukan selama setengah hari di Labuan Bajo?

Damage Cost
A. Retribusi Sawah Cancar : Rp 15.000
B. Bensin : Rp 50.000
C. Penginapan di Wae Rebo : Rp 345.000
D. Guide Wae Rebo : Rp 40.000
E. Travel Ruteng - Labuan Bajo : Rp 110.000
TOTAL : Rp 660.000

You Might Also Like

0 comments