Overland Trans Flores (Day 4) : Bajawa
February 25, 2019
Sesampainya aku di kota ini malam hari sebelumnya, udara dingin yang menyelimuti masih bisa aku tolerir. Tapi, aku tidak menyangka kalau daerah Bajawa bakal sedingin ini saat pagi hari. Oiya, di sini aku menginap di tempat adik tingkatku yang bekerja di Kantor Pajak Bajawa, Herlambang namanya. Beruntunglah, aku dan dia saling follow di Instagram, jadi aku bisa notice kalau dia penempatan di sana.
Bajawa pagi hari |
![]() |
Selfie sebelum berpisah |
Pagi itu, suhu di Kota Bajawa yang tertera di gawaiku menunjukkan angka 14 derajat Celcius, ditambah lagi suasana mendung yang semakin membuat raga ini malas beranjak dari kasur. Di Bajawa ini aku sudah menetapkan 1 tempat tujuan yang ingin aku kunjungi yaitu Desa Adat Bena. Pernahkah kalian mendengar namanya? Jika belum, izinkan aku bercerita sekilas tentang salah satu desa adat tertua di NTT ini.
Gunung Inerie |
Desa Adat Bena adalah sebuah desa yang terletak di Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere. Desa Adat Bena terletak sekitar 19 km ke arah selatan pusat kota Bajawa. Letak Desa Bena yang berlatar belakang Gunung bertipe strato Inerie sungguh membuat suasana Desa ini semakin asri dan eksotis. Oiya, untuk menuju desa Bena tidak ada papan penunjuk arah yang pasti, sehingga jika kita ragu di tengah jalan, bisa bertanya kepada penduduk sekitar, mereka dengan senang hati akan membantu kita.
Jalan sempit menuju Bena |
Aku menggunakan motor milik salah satu pegawai di KP2KP Bajawa untuk menuju ke Desa Adat Bena. Waktu tempuh dari pusat kota ke sana membutuhkan waktu 30 menit saja. Jalanan sepi gaes dan gak macet seperti Jakarta, hmm. Setelah parkir motor, kita akan diarahkan oleh penduduk ke sebuah rumah yang kemudian menjadi tempat kita mengisi buku tamu dan membayar retribusi sebagai tiket masuk ke Desa Adat Bena. Tidak mahal kok cuma Rp 20.000 saja.
Sekilas tentang Bena |
Setelah membayar dan mengenakan selendang di bahu sebagai tanda bahwa kita adalah pengunjung, kita sudah diperbolehkan untuk berkeliling Desa Adat Bena. Kampung tradisional ini hanya berada dalam satu lingkup wilayah kecil dimana rumah-rumah penduduknya berada di pinggiran yang mengelilingi sebuah bangunan yang biasa disebut oleh masyarakat lokal Bena, nga’du dan bhaga. Keduanya merupakan simbol leluhur kampung yang sekaligus digunakan sebagai tempat upacara adat digelar untuk berkomunikasi dengan leluhur mereka. Nga’du berarti simbol nenek moyang laki-laki. Sedangkan bhaga berati simbol nenek moyang perempuan.
Desa Bena |
Aku berkeliling mengamati setiap detail yang ada di desa adat Bena. Kehidupan masyarakat di Desa Adat Bena sangat lekat dengan kesederhanaan. Mata pencaharian penduduk kampung, terutama kau adam adalah berladang seperti menanam jagung, umbi, kacang, kopi dan kemiri. Sementara itu, para Mama menghabiskan waktunya untuk menenun kain tradisional serta menjual hasil tenunannya pada para wisatawan yang datang, atau dikirimkan ke Kota Bajawa.
Penduduk Bena sedang memilah kemiri |
Saat aku berkunjung kesana, ada seorang Mama yang sedang asyik menenun kain dengan cara tradisional tanpa mesin. Mama tersebut sangat ulet dan teliti dalam mengaitkan satu persatu benang yang terurai. Aku iseng bertanya kepada Mama tersebut, berapa harga kain tenun tersebut kalau sudah jadi. Tahukah jawabannya? Rp 1.000.000 gaes. Aku sedikit mengernyitkan dahi mendengar nominal yang disebutkan oleh Mama tersebut. Tapi, setelah dengar penjelasannya, aku tidak kaget sih mengingat bahwa pengerjaan 1 kain tersebut membutuhkan waktu 3 bulan. Keren nggak sih dengan keuletan sang Mama? hehehe
Mama yang sedang menenun kain |
Kain Tradisional Bena |
Lain halnya ketika aku melangkahkan kaki menuju rumah di seberang sang Mama yang menenun kain, ada bapak-bapak yang menjajakan dagangan berupa kerajinan tangan. Aku tidak tahu pasti barang apa yang dibuat oleh bapak-bapak tersebut karena komunikasi kami agak terhambat, aku menggunakan Bahasa Indonesia dan sang Bapak menjelaskan dengan Bahasa daerahnya. Aku mengangguk-angguk saja ketika sang Bapak menjelaskan. Maaf ya pak hehe
Kerajinan Tangan Bena |
Aku mengakhiri kunjunganku di Desa Adat Bena pukul 12.00 tepat karena jam 1 nanti aku sudah ada janji dengan travel yang akan mengantarkanku menuju tujuanku selanjutnya, yaitu Ruteng. Tapi kalau boleh bilang, Desa Adat Bena ini benar-benar membuka wawasan kebangsaanku tentang betapa kayanya budaya yang ada di Indonesia. Bayangkan, di zaman yang sudah semodern ini, masih ada suatu daerah yang masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya sejak ratusan bahkan hingga ribuan tahun lalu. Penduduk di Desa Adat Bena juga masih rutin menyelenggarakan upacara adat di masa-masa tertentu seperti kawinan, orang meninggal, atau syukuran panen. Semakin aku melangkah jauh, semakin aku tahu bahwa aku tidak banyak tahu tentang Indonesia :’)
Kampung Bena |
Flores masih memiliki kekayaan budaya lain yang tersimpan di sebuah desa yang bersembunyi di balik bukit. Desa apakah itu? Tunggu kelanjutan ceritanya ya.
Damage Cost
A. Retribusi Desa Adat Bena : Rp 20.000
B. Bensin : Rp 20.000
C. Travel Bajawa-Ruteng : Rp 110.000
TOTAL : Rp 150.000
Damage Cost
A. Retribusi Desa Adat Bena : Rp 20.000
B. Bensin : Rp 20.000
C. Travel Bajawa-Ruteng : Rp 110.000
TOTAL : Rp 150.000
0 comments