Kearifan Lokal Suku Sasak di Desa Sade

January 02, 2018

Melanjutkan perjalananku setelah dari Gunung Rinjani, aku bersama teman-temanku memilih tujuan ke Desa Sasak Ende atau yang biasa dikenal dengan nama Desa Sade. Lokasinya gampang kok dijangkau, kurang lebih sekitar 12 km ke arah selatan dari Bandara Lombok Praya, letaknya pun di pinggir jalan raya.

Setelah turun dari mobil, kami langsung disambut oleh bapak-bapak yang sepertinya ini adalah guide yang akan mendampingi rombonganku untuk berkeliling Desa Sade. Sebelum kesini, aku kepo-kepo sedikit tentang desa ini termasuk tentang kewajiban untuk didampingi guide selama berkeliling. Tidak ada retribusi yang harus kami bayarkan ketika masuk ke sana, bahkan guidenya pun konon katanya dibayar seikhlasnya. Hmm ya dikira-kira lah sepantesnya memberikan tips jasa pemandu wisata gaes.

Kalau dilihat dari luar desanya, kita bakal melihat seperti komplek rumah adat dengan bentuk rumah yang hampir sama. Namun, setelah masuk ke dalamnya ternyata itu cuma pemandangan awalnya saja karena di dalamnya ada lebih banyak hal yang aku temui. Sebelum masuk, berfoto dulu lah di tulisan selamat datang ini, mumpung sepi :p
Sade-Gate.jpg
Welcome to Sade
Rombongan kecil kami yang berjumlah 5 orang mula-mula dikumpulkan di tempat semacam pendopo desa untuk dijelaskan oleh guide mengenai sejarah, tradisi, dan hasil kerajinan Desa Sade. Jujur, aku semacam tersihir oleh penjelasan guide kami, karena kalau aku lihat sih dia begitu memahami seluk beluk mengenai desa ini yang kemudian memancing rasa ingin tahuku lebih dalam.

Guide-Sade.jpg
Guide Sade
Pemandu kami bercerita bahwa Desa Sade ini telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Awalnya, penduduk desa Sade memiliki kepercayaan dari nenek moyangnya, namun sekarang kebanyakan telah memeluk Islam, ditandai dengan keberadaan masjid desa yang menjadi tempat ibadah untuk kurang lebih 150 Kepala Keluarga dan tentunya para wisatawan yang berkunjung kesana. Alhamdulillah batinku :D

Masjid-Sade.jpg
Masjid Sade
Desa Sade masih menyuguhkan suasana perkampungan yang masih asri dan tradisional. Rumah (orang Sasak menyebutnya dengan "Bale") sangat sederhana dengan atap yang terbuat dari alang-alang kering, lantainya beralaskan tanah liat, dan berdinding anyaman bambu. Penduduk desa ini bahkan sering mengepel lantai rumahnya dengan kotoran kerbau, ampun deh bayanginnya wkwk. Tapi jangan salah, menurut penduduk sana, kotoran kerbau membuat rumah menjadi hangat dan dijauhkan dari nyamuk. Saat kami masuk ke rumahnya, bau kotoran kerbau sama sekali tidak tercium, padahal bekas pel kotoran kerbaunya nampak sangat jelas. Orang Sasak memang cerdik!

Atap-Sade.jpg
Atap alang-alang
Tradisi yang unik di desa ini adalah "Kawin Culik". Tidak seperti di daerah lain yang mengkategorikan menculik adalah hal negatif, dalam tradisi Sasak menculik adalah tanda keseriusan seorang lelaki terhadap wanita yang dicintainya. Wanita tersebut dibawa ke rumah lelaki untuk dikenalkan kepada keluarganya. Setelah itu, keluarga lelaki akan datang menemui keluarga wanita untuk melangsungkan acara lamaran. Nah, di pohon inilah biasanya kedua orang janjian untuk ketemuan. Ah... andaikan nikah dan kawin semudah itu hahaha.
Pohon-Sade.jpg
In frame Dicky dan Ruru
Tak hanya tradisi kawin culik, Desa Sade terkenal juga dengan kerajinan kain tenun. Hampir setiap rumah yang kami lewati menampilkan hasil tenunan kain untuk dijual kepada wisatawan. Aku berhenti di salah satu rumah yang menjual kerajinan kain tenun dan sedikit melakukan dialog dengan seorang wanita yang menjaga tokonya. Katanya, mereka mendapatkan pelajaran menenun ketika masih berusia 10-11 tahun, hal itu untuk menjaga kelestarian tradisi sekaligus sebagai sumber pendapatan utama keluarga. Jadi meskipun orang modern menyebutnya sebagai ibu rumah tangga, namun para wanita di desa ini bisa menenun kain untuk mengisi waktu. Selain itu, impresiku kepada wanita yang aku ajak berbicara ini adalah lebih dari sekadar seorang penenun. Suaranya halus, tutur bicaranya sopan, dan murah senyum. Dia menawarkan jualannya dengan sangat lembut dan tanpa ada paksaan sedikitpun. Wisatawan mana yang nggak meleleh ketika bertemu orang seperti ini.
Kain-Sade.jpg
Kain Tenun Sade
Aku perhatikan setiap detail desa ini, penduduknya jarang ada yang menggunakan gadget. Ketika ada waktu senggang di siang atau sore hari, mereka biasa berkumpul di halaman rumah bercakap-cakap sambil menikmati cemilan yang ada. Anak-anaknya pun begitu, mereka bermain di depan rumahnya masing-masing, ada yang bermain bola, kelereng, ataupun hanya sekadar bercanda.
Anak-Sade.jpg
Anak Desa Sade
Meski perjalananku di Desa Sade ini tidak lama, namun banyak hal baru yang aku amati dan ketahui setelah berkunjung dari sana. Belajar untuk menghargai dan mencintai kebudayaan baru yang sama sekali berbeda dengan kebudayaan asal kita adalah suatu keharusan ketika kita berkunjung ke tempat baru. Hal itu untuk menambah khazanah pengetahuan kita tentang beragamnya budaya negeri kita tercinta, Indonesia.

You Might Also Like

0 comments